Itu sepenggal cerita ihkwal pengembangan agrowisata rintisan oleh kelompok masyarakat Desa Winong, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Salah satu desa berstatus tanah perdikan (ada empat desa berstatus perdikan di Tulungagung) yang memiliki luas hanya 27 hektare atau sekitar 0,35 kilometer persegi dengan kepadatan penduduk per akhir Januari 2021 sebanyak 1.137 jiwa atau 344 KK. Sebuah wilayah administratif tingkat desa yang sangat kecil dengan jumlah penduduk kecil (sedikit) pula.
Berlokasi di pinggiran kota Tulungagung, tepatnya sekitar tiga kilometer arah barat daya dari pusat kota, Desa Winong bukan tergolong desa yang masyarakatnya memiliki rata-rata penghasilan (gross domestic bruto/GDB) mapan. Terutama warga yang asli Winong, bukan pendatang. Kendati sebagian sudah berpendidikan dan menjadi pegawai negeri dan menekuni dunia usaha yang berkembang, tak sedikit yang masih hidup di bawah garis kesejahteraan.
Salah satunya yang ada di lingkungan RT 03 RW 02 Dusun Winong. Berada di jalur gang dengan lebar jalan selebar mobil lebih sedikit, bangunan rumah warga didominasi bangunan tua. Ukurannya juga kecil, lahan pun sempit. Minimnya lahan membuat warga setempat lebih banyak mengembangkan model tanaman agroponic. Menanam di atas media tanam seperti botol plastik bekas, poly bag dan sejenisnya untuk tempat tumbuh kembang aneka sayur mayur.
Pemandangan itu mengubah wajah lingkungan RT 03 Dusun Winong yang terkesan “minus” menjadi lebih produktif. Hampir sepanjang gang terlihat tanaman agroponic dengan aneka jenis sayuran seperti sawi, bawang pre, sledri, slada, hingga terong menghiasi pekarangan sempit warga hingga pinggir jalanan.
Di sudut simpang empat jalan gang, dan beberapa rumah warga, berdiri semacam “mini green house” yang diistilahkan sebagai Kebun Bibit Desa (KBD) untuk etalase aneka tanaman sayur yang sedang dikembangkan warga, lengkap dengan nama-nama varietas yang sedang ditanam. Sungguh pemandangan segar. Tak heran banyak pengunjung yang datang, betah berlama-lama di lingkungan ini. Sekalipun sebenarnya lokasi desa ini berada di dataran rendah dengan ketinggian 85 mdpl.
Hanya beberapa detik berkendara dengan kendaraan roda dua menyusuri gang dengan konstruksi jalan paving sejauh 400-an meter, terdapat sebuah kebun sayur cukup luas yang dihias sedemikian rupa.
Sepintas konsepnya persis wisata-wisata rintisan yang kini tengah “booming” di desa-desa lain. Memanfaatkan lahan bengkok atau lahan kosong yang disulap menjadi wahana wisata yang dikreasi kekinian. Selain hiasan taman dengan mengandalkan corak warna-warni yang tajam menyolok mata, ada banyak ornamen yang dibangun untuk spot-spot swafoto yang instagramable atau layak diunggah ke Instagram.
Dilema KWT dan Gagasan Demplot Agro
Tampilan visual boleh jadi mirip-mirip dengan wahana-wahana wisata rintisan di desa lain. Namun jika merunut riwayat perjalanan terbentuknya agrowisata sayur di desa yang memiliki sejarah panjang sejak era kerajaan Mataram Hindu ini memiliki spirit keekonomian masyarakat yang luar biasa. Bagaimana tidak, cikal-bakal wisata agro yang dibangun sederhana ala masyarakat desa itu tak bisa dipisahkan dari semangat emak-emak yang sejak 2019 mengembangkan pekarangan pangan lestari (P2L) dengan menanam aneka sayuran di lahan sempit depan rumah mereka.
Semakin berdaya dengan aneka produk sayuran yang dihasilkan, 24 emak atau ibu rumah tangga yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Winong Asri mulai keteteran dengan permintaan pasar. Beberapa rumah makan minta pengiriman rutin dengan volume cukup banyak. Meningkatnya permintaan tak seimbang dengan ketersediaan bahan baku akibat lahan yang memang terbatas.
Ketua KWT, Sri Agung Monariyanti pun “curhat”ke LPM Desa Winong. Aspirasi itupun ditangkap pengurus LPM dan kemudian mendiskusikannya bersama sang kepala desa, Agus Satoto. Dan gayung pun bersambut. Kades Agus yang sejak lama memantau geliat ekonomi ibu-ibu yang tergabung dalam KWT Winong Asri sepakat membantu menyediakan demplot khusus. Lahan luas untuk bercocok tanam sayur.
Namun idenya tak sekadar kebun sayur apa adanya. Tetapi dikemas dalam sebuah agrowisata tanaman sayur. Sekitar bulan Juni 2019 pembangunan taman dimulai di atas tanah sewa seluas 1.200 meter persegi dengan modal awal Rp85 juta hasil pinjaman kelompok dan PNPM, suntikan modal tambahan dari swasta perorangan akhirnya mempercepat penyelesaian pembangunan demplot sayur yang diproyeksikan sebagai wahana edukasi pertanian dan perikanan tersebut.
Akhir November 2019 demplot agro ini kelar 100 persen dan pada 5 Desember 2019 wisata rintisan berbasis ekonomi kerakyatan inipun diresmikan oleh Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Tulungagung. Hari Sabtu wisata agro ini dibuka, keesokan harinya pengunjung langsung membeludak.
“Sayang keramaian itu tidak bertahan lama. Dua pekan setelah diresmikan pemerintah (kabupaten) memberlakukan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) mikro. Kami pun terpaksa tutup hingga sekarang,” tutur Tohiron, pensiunan PNS di Dinas Infokom Kabupaten Tulungagung yang dipercaya memimpin pengelolaan agrowisata tersebut.
Kembangkan Wisata Pasar Kuliner
Tutup operasi hampir empat bulan lamanya tak menyurutkan semangat warga RT 03 RW 02 untuk terus bertahan, merawat tanaman sayuran dan tanaman hias di kebun agro agar tetap segar bersemai. Kendati operasional yang dibutuhkan tidak sedikit. Pendapatan selama dua pekan beroperasi sebelum ditutup pada akhir Desember 2019 jelang perayaan tahun baru pun ludes untuk biaya perawatan.
Mereka pun bertahan sekuat tenaga. Ibu-ibu yang tergabung dalam KWT Winong Asri tetap rajin merawat tanaman sayur saban hari. Setidaknya mereka masih berharap hasil cocok tanam sayur di demplot bisa dijual saat panen dan menghasilkan uang.
Sayangnya ujian kembali datang. Di musim hujan, bercocok tanam sayur tak cukup menjanjikan. Beberapa varietas yang ditanam seperti sawi pagoda, selada merah, selada hijau, terung dan beberapa jenis sayur lain tidak bisa berkembang dengan baik jika terkena air hujan. Hal ini membuat ibu-ibu anggota KWT masygul. Pendapatan tambahan turun, bahkan beberapa nihil peghasilan. Ini masih ditambah menurunnya permintaan sayur dari pelanggan dampak penurunan daya beli masyarakat.
Di tengah kegalauan itu, Sri Agung bersama ibu-ibu anggota KWT jalan-jalan ke pasar krempyeng (pasar kuliner dadakan) yang ada di belakang Pasar Besar Ngemplak, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari desa Winong. “Dari jalan-jalan inilah kami kemudian punya ide untuk mengembangkan sentra pasar kuliner di Desa Winong,” tutur Bu Agung menceritakan.
Hanya butuh waktu sepekan untuk merealisasikan ide tersebut. Sekali lagi LPM dan Kades Agus Satoto yang mendengar curahan hati bu Agung cs mendukung gagasan pengembangan sentra pasar kuliner yang lokasinya di sepanjang jalan gang lingkungan RT 02 RW 03. Tak jauh dari wahana agrowisata edukasi sayur yang sementara ini masih tutup karena alasan pandemi.
“Alhamdulillah, respon masyarakat sangat baik. Lima kali pasar kuliner itu dibuka setiap minggu pagi, pengunjung selau banyak. Terutama komunitas gowes yang ingin mampir menikmati aneka hidangan khas yang dijual anggota kelompok pasar yang dibentuk BUMDes,” terang Kades Agus Satoto.
Ia menyatakan bahwa setiap dukungan yang diberikan pemerintah desa kepada KWT maupun dalam pengembangan kawasan agro dan pasar kuliner semata-mata untuk mendorong masyarakat agar bisa berwira usaha. Sebab pemberdayaan ekonomi ini secara langsungh akan berkontribusi dalam mendorong meningkatnya kesejahteraan mereka, kemiskinan bisa dikurangi, dan mengenalkan kembali dunia pertanian sejak dini melalui wahana edukasi.
Asa masyatakat Desa Winong bahkan kini membuncah seiring masuknya investor dari Jakarta yang siap menyuntikkan modal usaha untuk pengembangan kawasan agrowisata edukasi Winong Asri senilai Rp1 miliar. (*)
Oleh Destyan H. Sujarwoko
Editor: Tunggul Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2021