BANDUNG – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat menyebut, sekitar 500 desa dari total 5.000 lebih desa di Jabar masuk dalam kategori rawan bencana tinggi, khususnya bencana hidrometeorologis.
Kepala Pelaksana Harian BPBD Jabar, Dani Ramdan menerangkan, ke-500 desa yang berkategori sangat rawan bencana yang dipengaruhi cuaca tersebut tersebar di seluruh wilayah Jabar.
“Hampir di seluruh kota/kabupaten, tapi yang paling banyak di Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Bogor karena disesuaikan dengan jumlah wilayah kecamatan dan desanya, paling banyak di sana,” ungkap Dani, Kamis (4/2/2021).
“Kalau di bagian timur di Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramay. Kalau di bagian utara ada Subang, Karawang, dan Bekasi, ya yang kategori desa dengan potensi tinggi bencana itu, dari 5.000 desa di Jabar, ada 500-an (yang masuk kategori rawan bencana tinggi) ” ujar Dani melanjutkan.
Untuk mengantisipasi dampak bencana tersebut, BPBD Jabar pun telah melakukan langkah antisipasi lewat program Desa Tangguh Bencana (Destana). Hingga akhir Januari lalu, kata Dani, sedikitnya 250 di Jabar desa telah dibekali konsep dan peralatan untuk menghadapi bencana.
“Kita bangun baru 250-an, setengahnya. Kita buat percepatan untuk 250 desa yang lain dengan program fast track. Kalau standar Destana BNPB itu ada 16 indikator, nah untuk kondisi saat ini minimal ada tiga indikator dulu. Ada satgas, ada peralatan yang stand by, dan anggaran yang tersedia. Dengan itu, ada indikator yang keempat, yaitu indikator pelatihan bagi masyarakat paling tidak tokoh dan relawan pemuda,” paparnya.
Jika mengacu pada standar BNPB, indikator lain yang harus dipenuhi Destana, yakni harus membuat peta rawan bencana di level desa, harus membuat jalur evakuasi, dan rambu evakuasi, termasuk menyiapkan tempat evkuasi.
“Sekarang tiga indikator dulu. Kalau ada anggaran apapun bisa dilakukan, nah anggaran bencana itu yang biasanya tidak tersedia. Makanya, beberapa bupati membuat perbup terkait anggaran untuk bencana dalam APBDes-nya,” jelasnya.
Selain membangun Desa Tangguh Bancana, lanjut Dani, pihaknya pun mendorong setiap desa rutin melakukan mitigasi bencana sederhana, seperti memeriksa saluran air untuk memastikan bahwa saluran air tersebut tidak tersumbat atau memeriksa tebing-tebing untuk memastikan ada tidaknya keretakan yang berpotensi menyebabkan longsor.
Lebih lanjut Dani mengingatkan soal periode golden time untuk meminimalisasi korban jiwa. Periode yang dimaksud, yakni nol sampai tiga puluh menit pascaterjadi bencana.
Menurutnya, 34 persen faktor keselamatan dari bencana bersumber dari kesiapsiagaan individu yang dibentuk oleh pengetahuan dan kemampuan yang bersangkutan dalam melakukan evakuasi.
Faktor lainnya pertolongan orang-orang terdekat, yakni anggota keluarga yang memiliki kemampuan dan rencana kontijensi jika terjadi bencana. Faktor itu menyumbang 31 persen. Lalu, 17 persen dari pertolongan komunitas baik RT, RW atau lingkungan setempat.
“Peran BPBD, Tim SAR dan petugas lainnya hanya menyumbang 1,8 persen saja karena pada saat golden time mereka tidak berada persis di tempat bencana. Dengan demikian kesiapsiagaan individu, keluarga dan komunitas mutlak diperlukan dalam membangun masyarakat yang berbudaya tangguh bencana,” tandas Dani.