Jakarta –
Permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan perusahaan sawit inisial J ditolak Mahkamah Agung (MA). Alhasil, PT J tetap harus membayar denda yang dijatuhkan sebesar Rp 490 miliar karena membakar hutan di Riau pada 2013.
Kasus bermula saat Riau dikepung kabut asap karena kebakaran hutan dan lahan pada 2013 silam. Bahkan, asap tersebut menghampiri Singapura dan sebagian Malaysia.
Atas hal itu, pemerintah segera mengusut dan memintai pertanggungjawaban PT J di meja pengadilan. Pada 9 Juni 2016, PN Jakut menghukum PT J untuk membayar ganti rugi Rp 7,1 miliar dan denda pemulihan lahan sebesar Rp 22 miliar.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak terima dan mengajukan banding. Usaha KLHK menemui hasil. Pada 10 Maret 2017, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memperberat hukuman menjadi:
1. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian materiil secara tunai kepada Penggugat melalui rekening kas negara sejumlah Rp 119 miliar.
2. Memerintahkan Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas seribu hektare yang berada di dalam wilayah izin usaha untuk di budidaya perkebunan kelapa sawit
3. Menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas seribu hektare dengan biaya sejumlah Rp 371 miliar.
4. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sejumlah Rp 25 per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan tindakan pemulihan lingkungan;
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
6. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini dalam dua tingkat pengadilan yang dalam tingkat banding sejumlah Rp 150 ribu (seratus lima puluh ribu rupiah).
PT J tidak terima dan mengajukan kasasi. Namun MA bergeming. Pada 28 Juni 2018, MA menolak permohonan PT J dan menguatkan hukuman yang dijatuhkan PT Jakarta.
Jalan terakhir diambil PT J dengan mengajukan PK. Apa kata MA?
“Tolak,” demikian bunyi putusan PK yang dilansir website MA, Senin (16/11/2020).
Putusan PK ini diadili oleh ketua majelis I Gusti Agung Sumanatha dengan anggota Hamdi dan Syamsul Ma’arif. Putusan itu diketok pada 19 Oktober 2020.
(asp/zak)