Jakarta – Dari instruksi Presiden Joko Widodo, desa sudah mendapatkan posisi yang istimewa.Desa tak lagi cuma menjadi objek pembangunan; posisinya naik kelas menjadi pelaku pembangunan. Slogan yang kekinian adalah desa membangun, bukan lagi mbangun deso seperti pada 1990-an.
Tak heran, banyak kementerian dan lembaga berlomba-lomba mengembangkan proyek yang menyasar desa. Pada tahun 2021 saja akan ada desa emas yang digagas oleh DPD RI dan PDTT Kementerian Pembangunan Pedesaan. Sesuai Rural Sustainable Development Goals (SDG), Indeks Pembangunan Pedesaan (IDM) akan diperbarui. Kumpulkan data potensi desa dari BPS dan berbagai proyek regional yang lebih besar lainnya.
Semua ini untuk mendorong visi desa sebagai peserta pembangunan. Kegiatan paling konsisten di desa sejak 2016 (diadakan setiap tahun di seluruh negeri) adalah memperbarui IDM. Dinas Desa mengeluarkan PDT Trans Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021. Dana desa diprioritaskan untuk mencapai tujuan pembangunan desa yang berkelanjutan, antara lain pendataan desa, pemetaan potensi dan sumber daya, serta pengembangan teknologi dan komunikasi untuk memperluas kemitraan pembangunan desa.
Merujuk pada peraturan menteri Kemendesa mengorganisir pemutakhiran IDM dengan SDGs Desa sebagai Quick Wins. SDGs Desa bertujuan pembangunan berkelanjutan pada tingkat desa. Terdapat 18 tujuan yang disarikan dari SDGs. Mulai dari Desa Tanpa Kemiskinan, Desa Tanpa Kelaparan, sampai Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif. Pemutakhiran juga mencatat data lebih mikro pada level RT, keluarga, dan warga.
IDM digunakan memotret perkembangan kemandirian desa dari tiga indeks komposit; ketahanan sosial, ketahanan ekonomi, dan ketahanan lingkungan. Desa diklasifikasikan menjadi Mandiri, Maju, Berkembang, Tertinggal, dan Sangat Tertinggal (PDTTrans, 2016). Desa mandiri berarti punya kemampuan melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi, dan ketahanan ekologi secara berkelanjutan. Sementara desa sangat tertinggal artinya tidak berkemampuan mengelola potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi, serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya.
Pada 2021 ada 74.957 desa di Indonesia. Ada penambahan 1.248 desa baru dalam 5 tahun. Hasil klasifikasi IDM terbaru menunjukkan jumlah desa mandiri sudah meningkat pesat dari 174 desa (2016) ke 3.272 desa (2021). Sementara itu desa maju juga naik hampir lima kali lipat dari 3.608 desa (2016) ke 15.326 desa (2021). Desa berkembang merangkak naik dari angka 22.882 desa (2016) ke 38.081 desa (2021). Sementara desa tertinggal juga turun dari 33.592 desa (2016) ke 12.131 desa (2021). Begitu pula dengan jumlah desa sangat tertinggal yang turun dari 13.453 desa (2016) ke 4.569 desa (2021).
Selain Kemendesa, ada BPS yang mengumpulkan data Potensi Desa (PODES) setiap dua tahun sebelum Sensus. Berhubung sebentar lagi Sensus Pertanian 2023 (logonya baru diresmikan pada 26 September 2021 lalu sekaligus memperingati Hari Statistik Nasional), maka tahun 2021 ini dilaksanakan Pendataan PODES. Data yang dihasilkan dari PODES kemudian disarikan menjadi Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang juga mengkategorikan desa menjadi tiga kategori; desa tertinggal, desa berkembang, dan desa mandiri. IPD menggunakan lima dimensi yang dijadikan dasar pembentukan indeks, yakni pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, aksesibilitas, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan.
Hasil pendataan PODES 2021 masih dalam tahap pengolahan. Data terakhir yang sudah rilis adalah PODES 2014 dan 2018. Pada 2018 ada 5.559 desa mandiri naik dari tahun 2014 sebanyak 2.894 desa. Desa berkembang juga meningkat dari 51.026 desa (2014) ke 54.879 desa (2018), sementara itu desa tertinggal turun dari 19.750 desa (2014) ke 13.232 desa (2018).
Nah, sekarang jika ada masyarakat yang bertanya, “Berapa sih jumlah desa mandiri di Indonesia?” Maka sebelum menjawab perlu ditanya balik dulu, “Mau versi dari BPS atau Kemendesa?” Karena masing-masing punya data sendiri. Mirip-mirip dengan kondisi sebelum 2020 ketika ada yang bertanya jumlah penduduk. Ada jumlah penduduk versi Kemendagri via Dirjen Dukcapil, data BPS via Sensus dan Survei, ada data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan lain lain.
Untuk mengatasi hal itu, pada 12 Juni 2019, Presiden Joko Widodo telah menandatangani tentang Satu Data Indonesia (SDI). Pasal 1 ayat (1) Perpres ini berbunyi: Satu Data Indonesia adalah kebijakan tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar-instansi pusat dan instansi daerah.
Perpres ini diperlukan supaya data pemerintah ‘akur’, tidak terjadi perbedaan data antar-instansi pemerintahan. Diharapkan ke depannya tidak ada lagi kebingungan baik oleh pemerintah atau masyarakat tentang data mana yang harus dipegang.
Kembali ke PODES dan IDM. Menggunakan definisi dari SDI, dalam hal ini BPS dan Kemendesa berlaku sebagai produsen data. Kedua instansi ini sama-sama menghasilkan data. Data dengan sumber yang sama yakni desa (aparat desa). Padahal di dalam Perpres SDI, BPS punya peran yang tak kalah krusial yakni sebagai pembina data statistik. Tetapi mungkin BPS tidak ingin data series yang sudah dikumpulkan dari tahun 1980 putus begitu saja. Meskipun data desa mandiri yang dijadikan sebagai indikator pencapaian RPJMN adalah data dari Kemendesa.
Jika masing-masing mengikuti perannya, maka seharusnya Bappenas sebagai Koordinator SDI, BPS/kementerian sebagai sumber data dan BPS sebagai clearing house (pusat rujukan statistik). Sebenarnya tidak salah BPS juga ikut mengumpulkan data desa. Karena sudah menjadi tugas BPS mengembangkan Sistem Statistik Nasional (SSN) yang mampu menghasilkan berbagai data statistik baik di tingkat nasional maupun regional. Tapi demi menghindari redundansi data desa ada baiknya BPS kembali bertindak sebagai koordinator/pembina kegiatan statistik dan sebuah clearing house.
Di sisi lain BPS sudah berupaya memenuhi perannya sebagai pembina data statistik di desa. Upaya tersebut diwujudkan dalam Desa Cinta Statistik (Desa Cantik) yang pilot project-nya sudah dilaksanakan pada 100 desa di berbagai kabupaten/kota. Desa Cantik adalah program peningkatan kompetensi aparatur desa dalam pengelolaan dan pemanfaatan data sehingga perencanaan pembangunan desa lebih tepat sasaran. Tak kalah penting juga program ini upaya untuk mewujudkan target SDGs Desa No. 17 dengan membangun kemitraan desa dengan BPS melalui penyediaan data-data yang diperlukan tingkat desa.
Sinergi antar-instansi dari pusat hingga tingkat desa tak terelakkan jika kita ingin mengokohkan peran desa sebagai pelaku pembangunan. Ego antar-instansi harus dihapuskan, kepentingan instansi tidak boleh lebih tinggi dari kepentingan masyarakat Indonesia. Instansi pusat perlu mengkombinasikan kekuatan sehingga dapat tercapai satu data desa, satu data Indonesia. Sehingga desa kembali tumbuh dari hantaman pandemi dan tak cuma tumbuh, tapi kembali dengan ketangguhan.
Sumber : Detik.com